Di era digital yang semakin terhubung dan terbuka, media sosial tidak hanya menjadi tempat berbagi informasi, tetapi juga menjadi ruang publik untuk mengungkapkan pendapat, menyuarakan protes, dan menuntut pertanggungjawaban.
Salah satu fenomena sosial yang muncul dan semakin dikenal luas di dunia maya adalah cancel culture. Istilah ini sering dikaitkan dengan tindakan memboikot atau “menghapus” seseorang—biasanya figur publik atau tokoh terkenal—karena dianggap melakukan tindakan yang tidak pantas, ofensif, atau bertentangan dengan nilai-nilai sosial.
Fenomena ini berkembang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir, terutama dengan kekuatan media sosial yang memungkinkan masyarakat untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka secara kolektif dan viral. Tapi apa sebenarnya cancel culture itu? Dan apakah fenomena ini lebih banyak membawa manfaat atau justru menciptakan masalah baru?
Apa Itu Cancel Culture?
Cancel culture secara sederhana dapat diartikan sebagai praktik sosial di mana individu atau kelompok “membatalkan” seseorang yang dianggap telah melakukan kesalahan besar, baik dari segi moral, sosial, budaya, maupun hukum.
Bentuk “pembatalan” ini bisa berupa boikot terhadap karya orang tersebut, pemutusan kerja sama, penarikan dukungan, atau bahkan tekanan agar mereka dipecat dari pekerjaan atau dikeluarkan dari platform tertentu.
Contoh nyata cancel culture bisa kita lihat saat seorang selebritas menyatakan pendapat yang kontroversial, lalu masyarakat dunia maya (netizen) merespons dengan tagar #Cancel[namaseleb], menyerukan pemboikotan, dan menuntut konsekuensi publik. Dalam banyak kasus, tekanan sosial ini dapat menyebabkan kerugian reputasi, kehilangan kontrak kerja, hingga isolasi sosial.
Asal Mula dan Pertumbuhan Cancel Culture
Istilah “cancel culture” pertama kali populer di kalangan pengguna media sosial, khususnya di Twitter. Ia mulai dikenal luas sekitar tahun 2010-an, dan berkembang seiring dengan maraknya gerakan sosial seperti #MeToo, yang menyoroti pelecehan seksual oleh tokoh publik.
Dalam konteks tersebut, cancel culture dipandang sebagai bentuk pembelaan terhadap korban dan alat untuk menuntut keadilan sosial di luar jalur hukum formal. Perkembangan media sosial memungkinkan penyebaran informasi, opini, dan kampanye boikot terjadi dalam hitungan detik.
Siapa pun dapat menjadi “penuntut”, dan siapa pun dapat menjadi “terdakwa” di ruang digital. Dalam konteks ini, cancel culture memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk opini publik dan mendorong perubahan sosial.
Sisi Positif Cancel Culture
Mendorong Akuntabilitas Publik
Salah satu nilai utama dari cancel culture adalah kemampuan masyarakat untuk menuntut tanggung jawab dari figur publik atau perusahaan. Ketika seseorang melakukan tindakan rasis, seksis, atau diskriminatif, cancel culture bisa menjadi alat untuk menekan mereka meminta maaf atau memperbaiki perilaku.
Menyuarakan Kelompok Terpinggirkan
Cancel culture sering menjadi ruang bagi mereka yang tidak memiliki kekuatan untuk berbicara di ranah formal. Melalui media sosial, suara korban atau kelompok minoritas bisa mendapat perhatian dan dukungan besar, yang kadang tak mungkin diperoleh di media arus utama.
Mendorong Perubahan Sosial
Tekanan kolektif dari publik bisa mendorong reformasi di berbagai sektor—baik dalam industri hiburan, dunia kerja, maupun kebijakan publik. Contohnya, banyak perusahaan kini lebih berhati-hati dalam memilih duta merek atau karyawan karena khawatir terhadap rekam jejak digital mereka.
Meningkatkan Kesadaran Sosial
Cancel culture membuat banyak orang menjadi lebih sadar tentang isu-isu penting seperti rasisme, pelecehan seksual, body shaming, dan hak asasi manusia. Perbincangan publik menjadi lebih kritis terhadap norma dan perilaku yang sebelumnya dianggap “biasa”.
Sisi Negatif Cancel Culture
-
Kurangnya Proses dan Keadilan
Salah satu kritik terbesar terhadap cancel culture adalah tidak adanya proses yang adil. Seseorang bisa “dibatalkan” hanya karena potongan video lama, cuitan masa lalu, atau pernyataan yang disalahartikan, tanpa diberi kesempatan membela diri. Dalam banyak kasus, publik lebih cepat “menghukum” sebelum mendengar penjelasan.
-
Efek Psikologis yang Serius
Bagi individu yang menjadi sasaran cancel culture, dampaknya bisa sangat berat. Banyak yang mengalami tekanan mental, kehilangan pekerjaan, hingga depresi. Dalam beberapa kasus ekstrem, tekanan dari publik bisa berujung pada isolasi sosial atau bahkan bunuh diri.
-
Menghambat Dialog dan Pembelajaran
Cancel culture sering kali tidak memberi ruang untuk belajar dari kesalahan. Seseorang yang pernah melakukan kesalahan di masa lalu langsung dicap buruk selamanya, meskipun mereka telah berubah. Ini membuat orang takut untuk berbicara, khawatir akan disalahartikan dan dibatalkan.
-
Berpotensi Disalahgunakan
Tidak jarang cancel culture digunakan sebagai alat balas dendam pribadi, menyebar fitnah, atau menyerang lawan ideologis. Dalam hal ini, cancel culture menjadi senjata berbahaya yang bisa menghancurkan seseorang secara sosial tanpa bukti kuat atau dasar etis yang jelas.
Menuju Cancel Culture yang Lebih Sehat
Cancel culture seharusnya bukan tentang “menghancurkan” seseorang, tetapi lebih pada menuntut pertanggungjawaban dan menciptakan ruang diskusi yang sehat. Diperlukan pendekatan yang lebih adil dan berimbang, di mana pelaku diberi kesempatan untuk menjelaskan, belajar, dan berubah. Edukasi publik tentang pentingnya konteks, empati, dan keadilan juga harus diperkuat.
Baca Juga :
Alih-alih budaya “cancel”, beberapa pihak kini mendorong budaya “call-out” yang lebih mendidik—yaitu mengoreksi kesalahan secara terbuka namun konstruktif, agar terjadi perbaikan tanpa harus menghancurkan individu yang bersangkutan.
Kesimpulan
Cancel culture adalah produk dari kekuatan digital dan kesadaran sosial yang meningkat di era modern. Ia memiliki potensi besar untuk mendorong keadilan dan perubahan positif. Namun, jika tidak dilakukan dengan bijak, cancel culture bisa berubah menjadi alat penghakiman massal yang kejam dan tidak adil.
Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai masyarakat digital untuk tetap kritis, adil, dan berempati—agar perjuangan melawan ketidakadilan tidak malah menciptakan bentuk ketidakadilan yang baru.