Tiap 9 Februari, Indonesia memperingati Hari Pers Nasional (HPN), salah satu momen penting yang diawali sejak 1985, beriringan dengan ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang berdiri pada 1946. Peringatan HPN kali ini berlangsung di tengah merosotnya peringkat Indonesia dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia yang diterbitkan Reporters Without Borders (RSF). Laporan RSF 2024 menempatkan kebebasan pers Indonesia pada posisi 111 dari 180 negara, turun dari peringkat 108 pada 2023. RSF mengatakan turun kelasnya Indonesia ini tak lepas dari meningkatnya kontrol terhadap media serta sejumlah kasus kekerasan yang menimpa jurnalis.
Editor senior The Jakarta Post, Endy Bayuni mengatakan kebebasan pers di Indonesia selama 10 tahun terakhir berada dalam situasi kritis karena susahnya wartawan untuk bisa bersuara lantang akibat konfrontasi kategori berkuasa yang menerapkan media sosial untuk aksi braxtonatlakenorman.com perundungan dan menekan suara-suara kritis. Ia juga menyoroti sejumlah persoalan lain, seperti berkurangnya ruang sipil, meningkatnya serangan digital terhadap jurnalis dan aktivis, serta terjadinya disinformasi di ruang publik
“Ruang untuk berekspresi itu semakin mengecil. Jadi bukan terjadi menimpa ke media atau jurnalis saja, namun secara awam masyarakat juga memandang. Dan ini terjadi di dikala dahsyatnya perkembangan teknologi berita, teknologi digital,” ujarnya terhadap VOA, Pekan (9/2).
Endy mengatakan bahwa dunia maya, yang mesti menjadi ruang bagi setiap orang untuk mengekspresikan anggapan dan pandangan, terpenting bagi kategori-kategori yang terpinggirkan dan tertindas, sekarang justru didominasi oleh orang-orang yang punya kekuatan politik. Menurutnya mereka yang memiliki kekuatan politik dan uang bisa membayar pihak lain untuk merajai ruang diskusi publik.
Pandan Yudhapramesti, Ketua Program Studi Jurnalistik Universitas Padjajaran Bandung, mengatakan tantangan sekarang ini berbeda dengan sekian tahun yang lalu.
Baca Juga : Jenis-Jenis Digital Marketing Yang Perlu Di Ketahui Di Tahun 2025
“Kini berita sudah gampang didapat jika kita lihat dari tataran yang mikro gitu, namun jika kita lihat dari tataran makro…ini kan amat menyedihkan. Bila pers ini tak dijaga gitu perannya, siapa lagi yang akan melakukan fungsi kontrol. Tentu saja negara mesti masuk mencari taktik sedemikian rupa agar keberadaan pers itu bisa tetap terjaga,” katanya, Pekan (9/2).
Sementara di sisi lain, Endy mengungkapkan bahwa media berita sekarang merasa peran mereka semakin berkurang, karena ruang publik sudah didominasi oleh orang-orang berkuasa yang memanfaatkan media sosial dan dunia maya untuk menyebarkan misinformasi atau disinformasi.
“Apa yang bisa dilakukan oleh media ya, kembali ke back to basics praktik jurnalisme itu. Aku yakin pada hasilnya masyarakat akan tetap mencari berita dan berita yang punya kredibilitas ya, yang bisa dipercaya. Jadi semakin banyaknya misinformasi dan disinformasi di dunia maya ini, semakin diperlukan keberadaan media yang mempraktekan prinsip-prinsip jurnalisme yang bagus.” tambah Endy.